PANDEGLANG, Jurnalis Banten Bersatu – Dua kisah muncul dari tanah Banten—keduanya sederhana, namun menyimpan gema yang dalam. Di Ciawi, sebuah surat bertinta hitam menjadi simbol pergeseran nilai di dunia pendidikan. Di Dungushaur sebuah Kampung yang terletak di Desa Surianeun wilayah Kecamatan Patia, sebuah pena kecil dari tangan rakyat jelata menantang diamnya kekuasaan, Sabtu (25/10/2025).
Dua peristiwa berbeda, namun sama-sama menyingkap pertanyaan abadi: di mana letak kejujuran ketika moral bertemu ambisi?
Di satu sisi, seorang kepala sekolah di SD Negeri Ciawi 2 yang dikenal berwibawa, menandatangani selembar SPTJM—Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak—yang diduga dimanfaatkan bukan untuk kepentingan lembaga, melainkan untuk melancarkan langkah darah dagingnya dalam seleksi pegawai pemerintah yakni PPPK. Di sisi lain, Kasman, seorang pemuda dari Kampung Dungushaur Surianeun, bangkit lewat media kecil bernama DetikPerkara, menulis dengan keberanian yang tidak diwariskan oleh gelar, tetapi dilahirkan oleh nurani.
Ciawi dan Surianeun—dua titik di peta Banten yang mungkin tak dikenal oleh peta digital, namun kini menjadi ruang refleksi moral. Kejadian ini berlangsung dalam keseharian yang tampak biasa: di ruang kepala sekolah yang sunyi dan di bilik bambu tempat Kasman mengetik berita pertamanya. Waktu seolah berhenti di dua tempat itu, membiarkan nilai-nilai diuji tanpa saksi.
Karena pendidikan dan jurnalisme sejatinya adalah dua wajah dari cermin yang sama: sama-sama mengajarkan kebenaran, namun seringkali terjebak dalam bayang-bayang kepentingan. Ketika surat resmi bisa berubah menjadi alat kekuasaan, dan ketika pena desa menjadi penjaga moral, maka pertarungan sesungguhnya bukan lagi antara kaya dan miskin, kota dan desa—melainkan antara nurani dan kepura-puraan.
Sistem birokrasi yang seharusnya mengayomi justru membuka celah bagi permainan halus: legal di atas kertas, namun pincang di mata etika. Di Kampung Dungushaur, keterbatasan justru melahirkan kebebasan berpikir; Kasman menulis bukan karena ingin terkenal, tetapi karena tak sanggup lagi melihat kebenaran dikubur oleh diam. Ia mengubah pena menjadi obor kecil yang menyala di tengah gelapnya kepercayaan publik terhadap media besar.
Dari dua kisah itu, kita diajak merenung: bahwa kekuasaan tanpa kesadaran adalah jalan menuju kejatuhan, sedangkan keberanian tanpa fasilitas bisa menjadi mata air peradaban. Pendidikan yang sejati tidak hanya menulis nilai di rapor, tetapi juga mengajarkan arti tanggung jawab di hati. Dan jurnalisme yang murni tidak mengejar sensasi, melainkan menegakkan moral, meski dengan huruf-huruf sederhana dari sebuah kampung.
Ketika “surat sakti” dan “pena rakyat” berdiri di panggung yang sama, kita menyadari bahwa perubahan tidak selalu datang dari jabatan tinggi atau media besar. Kadang, ia lahir dari seseorang yang menolak diam—dari sekolah kecil di Ciawi dan suara jernih dari Kampung Desa Surianeun Patia pelosok Banten.





