Pandeglang, Banten | Jurnalis Banten Bersatu – Dunia pendidikan kembali diguncang oleh isu sensitif yang menyorot persoalan etika dan profesionalisme aparatur pendidikan. Kasus terbaru datang dari SDN Ciawi 2 Patia, Kabupaten Pandeglang, ketika seorang kepala sekolah bernama Ayip mengusulkan anaknya sendiri — yang diketahui masih berstatus mahasiswa aktif lulusan SLTA sederajat — untuk diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu tahun 2025.
Dalam klarifikasinya, Ayip membenarkan bahwa dirinya memang mengajukan nama sang anak dalam daftar usulan PPPK.
“Benar, anak saya diusulkan untuk PPPK paruh waktu. Statusnya memang masih mahasiswa,” ujarnya ketika dikonfirmasi.
Namun, langkah tersebut memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama dari para tenaga honorer dan aktivis pendidikan yang menilai tindakan itu mencederai nilai keadilan dan meritokrasi dalam rekrutmen tenaga pendidik.
Ketua Jurnalis Banten Bersatu, sekaligus Pemimpin Redaksi Media DetikPerkara, Kasman, mengungkapkan keprihatinannya terhadap fenomena tersebut.
“Jika benar anak kepala sekolah yang masih kuliah bisa diusulkan PPPK, ini bukan hanya melukai hati para honorer yang sudah bertahun-tahun mengabdi, tapi juga merusak kepercayaan publik terhadap sistem seleksi tenaga pendidik,” tegasnya.
Lebih jauh, Kasman mempertanyakan ketegasan para pemangku kebijakan di Kabupaten Pandeglang.
“Pertanyaannya sekarang, akankah para pemimpin di Pandeglang berani menegakkan keadilan Tuhan? Keadilan yang berpihak pada mereka yang telah berjuang, bukan pada mereka yang dekat dengan kekuasaan,” ujarnya.
Dengan nada reflektif, Kasman menambahkan sindiran yang menggugah kesadaran moral publik.
“Jika pemimpin tak lagi mampu menegakkan keadilan Tuhan, mungkinkah rumput yang bergoyang mengeksekusi keadilan dengan harapan? Barangkali suara keadilan itu akan tumbuh dari bawah, dari hati-hati kecil yang terluka namun tetap berharap pada kebenaran,” ucap Kasman.
Kasman menegaskan bahwa persoalan ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan krisis moral dalam dunia pendidikan.
“Sekolah adalah ruang moral bagi peserta didik. Jika pemimpinnya mengedepankan kepentingan pribadi, maka nilai karakter yang diajarkan menjadi sia-sia,” imbuhnya.
Salah satu Pemilik Media asal Patia itu menilai lemahnya mekanisme kontrol etik dan sistem rekrutmen PPPK.
“Kementerian dan dinas terkait harus memastikan bahwa setiap usulan benar-benar berbasis kompetensi dan kebutuhan, bukan hubungan darah atau kedekatan emosional,” ujar Kasman.
Fenomena ini menjadi pengingat bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan dari moralitas publik. Jika praktik nepotisme terus dibiarkan, maka integritas lembaga pendidikan akan terdegradasi, dan generasi muda akan kehilangan teladan moral yang semestinya mereka dapatkan di sekolah.
Kini publik menantikan langkah tegas dari Dinas Pendidikan Kabupaten Pandeglang. Kasus SDN Ciawi 2 Patia menjadi simbol bahwa reformasi moral birokrasi pendidikan harus nyata — bukan sekadar slogan — agar keadilan tidak hanya menjadi kata-kata indah, tetapi benar-benar hidup di bumi Pandeglang.
Penulis. Kasman





