Pandeglang, Jurnalis Banten Bersatu – Di sebuah desa yang teduh di bawah langit biru, di antara desir angin sawah dan gemericik air yang mengalun di pematang, seorang jurnalis desa bernama Kasman terus menulis. Ia menulis bukan karena ingin dikenal, melainkan karena nuraninya bergejolak melihat nilai-nilai pendidikan yang mulai kehilangan makna.
Kisah yang seharusnya tak pernah terjadi, tentang seorang kepala sekolah yang lebih memilih menandatangani Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) demi mengusulkan anaknya sendiri menjadi calon Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) — meski sang anak baru lulusan SLTA sederajat, bahkan masih duduk di bangku perkuliahan.
Tanda tangan yang menyisakan luka, seharusnya suci — lambang tanggung jawab, kehormatan, dan moralitas seorang pendidik. Namun dalam kisah ini, tinta di atas kertas berubah menjadi noda yang menghitamkan integritas.
Jabatan yang seharusnya menjadi amanah, justru disalahgunakan demi darah sendiri. Sebuah ironi yang mencederai nurani profesi guru, sosok yang seharusnya menanamkan nilai kejujuran bagi generasi penerus bangsa.
Kasman tak tinggal diam. Ia menulis dengan keberanian yang langka di zaman di mana banyak memilih bungkam. Tulisan-tulisannya bagaikan nyala obor di tengah kabut pekat, menyalakan kesadaran bahwa pendidikan bukan jalan menuju kepentingan pribadi, melainkan jalan menuju cahaya kebenaran.
Bagi Kasman, menulis bukan pekerjaan — melainkan ibadah nurani. Setiap kata yang ia tuangkan mengandung ruh perjuangan, setiap kalimat adalah anak panah kejujuran.
Pena di tangannya menjelma Pasupati, senjata sakral Arjuna yang menembus dada kepalsuan. Ia tahu, kebenaran sering dibenci. Tapi ia juga tahu, diam adalah bentuk pengkhianatan terhadap nurani.
Ia memilih menulis, walau harus sendirian menantang gelombang, Sejenak Menunduk di Hadapan Ilahi, Ketika pena masih menari dan hatinya berkobar dalam semangat, dari kejauhan terdengar lantunan adzan Duhur.
Suara itu menggema lembut dari menara masjid desa, menembus ruang sunyi tempat Kasman menulis. Sekejap ia berhenti. Tangan yang menggenggam pena diletakkannya perlahan. Ia menutup bukunya, menarik napas panjang, lalu berdiri. Karena baginya, kebenaran di atas kertas tak akan berarti tanpa ketaatan kepada Sang Maha Benar.
Di bawah cahaya siang yang menembus jendela bambu, Kasman melangkah menuju masjid, meninggalkan tulisan separuh jadi. Ia tahu, perjuangan untuk menegakkan moral tak hanya lewat kata, tapi juga lewat doa yang suci.
Jurnalis desa itu menulis agar bangsa ini tak lupa — bahwa pendidikan tanpa integritas hanyalah tembok tanpa jiwa. Dari desa kecil itu, mengalir pesan besar bagi negeri: bahwa setiap guru harus meneladankan kebenaran, setiap pemimpin harus menjaga marwah jabatan, dan setiap manusia harus berani berkata jujur meski dunia memilih diam.
Pendiri media detikPerkara asal Kampung Dumushaur Desa Surianeun Kecamatan Patia Kabupaten Pandeglang Banten tersebut telah membungkus luka sosial dengan syair yang menggugah kesadaran. Dengan tenang ia melanjutkan tulisannya, menulis dengan hati yang telah disucikan oleh sujud. Sebab ia tahu, pena yang berdoa lebih tajam daripada pedang yang menipu.
“Menjadi guru bukan sekadar mengajar, melainkan menyalakan cahaya kejujuran. Karena bangsa besar tidak lahir dari kebohongan, melainkan dari hati yang tunduk pada kebenaran.” ingat sang penulis untuk mereka yang pernah disumpah mendidik.





