Pandeglang, Jurnalis Banten Bersatu – Dalam praktik birokrasi pendidikan, ada kalanya kewenangan yang diberikan untuk menegakkan keadilan dan integritas, justru berubah menjadi alat personal. Kasus terbaru datang dari SDN Ciawi 2, di mana Kepala Sekolah, Ayip, ditengarai mengusulkan anaknya sendiri untuk masuk Daftar Peserta Alokasi PPPK Paruh Waktu 2025.
Ironisnya, calon peserta ini masih berstatus mahasiswa aktif dengan jenjang pendidikan SLTA sederajat, yang jelas belum memenuhi syarat administratif dan akademik.
Kritikan pedas muncul dari berbagai lapisan masyarakat, salah satunya Kasman, Direktur Media Online detikPerkara asal Patia. Dalam komentarnya, Kasman menekankan bahwa perilaku ini bukan sekadar kelalaian, melainkan penyalahgunaan kewenangan yang terang-terangan untuk kepentingan keluarga.
“Ketika seorang pemimpin menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, ia telah mengkhianati sumpah jabatannya,” tegas Kasman.
Sorotan kini tertuju pada Bupati Pandeglang, R. Dewi Setiani, yang diharapkan menunjukkan ketegasan dalam menilai dan menindak kejanggalan usulan PPPK di Kecamatan Patia. Publik bertanya, apakah dasar sumpah jabatan dan prinsip keadilan akan menjadi pedoman, ataukah justru tersisihkan di balik logika kekuasaan dan nepotisme?
Keadilan, sebagaimana digambarkan dalam filosofi sederhana tapi mendalam, adalah seperti daun pisang: meski tampak rapuh dan mudah dilipat, ia menutupi segala sesuatu dengan bijaksana, tidak memihak siapa pun. Pertanyaannya: akankah para pemimpin di Pandeglang menegakkan keadilan itu, atau membiarkan kewenangan menjadi tameng kepentingan pribadi?
Publik kini menunggu jawaban. Bukan sekadar klarifikasi, tetapi bukti integritas dari mereka yang memimpin pendidikan dan pemerintahan. Sebab, keadilan yang diabaikan hari ini, akan menjadi reputasi yang sulit diperbaiki esok hari.





