“Ketika Pena Berzikir: Jurnalis Desa Menulis Tentang Pencarian Diri dan Tuhan di Malam Jum’at”

PANDEGLANG, Jurnalis Banten Bersatu Di bawah langit desa yang bertabur bintang, malam Jum’at selalu membawa aroma ketenangan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata.

Di ujung mushala desa yang diterangi lampu minyak, gema lantunan surah Yasin bergaung bersama desir angin sawah. — jurnalis dari desa kecil ini — mencoba menafsirkan malam Jum’at bukan sekadar sebagai pergantian waktu, tetapi sebagai ruang metafisis tempat jiwa manusia bercermin pada Tuhannya.

Bagi sebagian orang, malam Jum’at hanyalah satu malam menjelang akhir pekan. Namun bagi umat Islam yang menghayati, malam ini adalah pertemuan antara kesunyian dan keabadian, antara dunia fana dan alam ruhani.

Dalam filsafat Islam, waktu bukan hanya dimensi kronologis, melainkan simbol kesadaran. Maka malam Jum’at adalah simbol kebangkitan batin — sebuah ajakan untuk menoleh ke dalam diri, menakar sejauh mana iman telah berakar di hati.

Aku sering mendapati para petani tua di desaku menutup hari dengan dzikir panjang. Di wajah mereka, kutemukan kedamaian yang tak dimiliki para pencari dunia.

Mereka tidak berbicara tentang Tuhan, tetapi hidup mereka sendiri adalah tafsir dari kalimat La ilaha illallah. Di situ aku belajar, bahwa malam Jum’at bukan sekadar waktu membaca surah, melainkan waktu menulis kembali makna hidup di atas lembar kesadaran.

Dalam diam malam ini, aku mengingat kata-kata Imam Al-Ghazali: “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”

Mungkin itulah esensi malam Jum’at — saat manusia berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia, lalu menatap wajahnya di cermin ruhani. Bukan untuk berbangga, tetapi untuk bertanya: “Sudahkah aku menjadi hamba yang mengenal Tuhan melalui kasih dan amal?”

Maka, di desa yang sederhana ini, malam Jum’at bukan hanya tradisi. Ia adalah perjalanan filsafat, tempat manusia dan Tuhan berdialog tanpa suara. Saat bintang bersinar dan hati tenang, setiap napas menjadi tasbih, setiap hembusan angin menjadi ayat, dan setiap kesunyian menjadi doa.

Di sanalah, aku — Kasman sang jurnalis desa asal Kampung Dungushaur Desa Surianeun di wilayah Kecamatan Patia — belajar menulis berita bukan dengan pena, melainkan dengan jiwa. Karena pada malam Jum’at, setiap insan sejatinya sedang menulis berita tentang dirinya sendiri di hadapan Allah.

Related posts
Tutup
Tutup